Bahagia menurut KBBI adalah keadaan atau perasaan tenang dan tenteram. Saya lebih condong memahami bahagia itu sebagai sebuah perasaan, artinya sesuatu yang muncul dari dalam, bukan karena sesuatu yang berada di luar (keadaan). Tapi, bisa juga keadaan di sekitar bisa mempengaruhi perasaan atau juga sebaliknya.
Berbicara tentang bahagia, itu hampir pasti keinginan setiap orang, tidak terkecuali Saya dong, hehe... Kata orang bahagia itu sederhana. Hmm...Saya mulai mikir hal-hal sederhana yang bikin bahagia. Ternyata benar, hal sederhana seperti ketemu lampu warna hijau pas lewat perempatan jalan, nyata meningkatkan mood kerja di kantor seharian :))
Atau pas dapet traktiran makan siang di rumah makan "sederhana" juga bisa bikin bahagia, bahagia di kantong, di perut dan di hati :D
Atau pas dapet 30 juta dari lomba nulis blog pasti jelas dan clear bisa bikin bahagia (klik aja pesan sponsor di bawah, biar kita lomba untuk mendapatkan bahagia :))
Kalau boleh memilih hanya hal-hal sederhana dan bikin bahagia saja yang telah-sedang-akan Saya alami, maka Saya bisa dapet kebahagiaan sepanjang hayat (amiin..). Tapi, itu hal yang hampir mustahil kalau tidak mau dibilang tidak mungkin. Karena seperti juga hitam dan putih, pria dan wanita, siang dan malam, muda dan tua, maka bahagia dan sedih seperti dua sisi mata uang. Jika siap menggenggam kebahagiaan, juga harus siap apabila mendapatkan kesedihan/kemalangan.
Sebagai seorang karyawan, bagi Saya perencanaan menjadi hal yang sangat penting. Orang bijak pernah berkata, kegagalan dalam merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan. Terutama dalam hal bagaimana mangalokasikan gaji atau penghasilan setiap bulan untuk kebutuhan rutin sehari-hari, membayar cicilan hutang, dan menabung atau investasi. Kadang, bahkan sering, yang disebut terakhir tidak pernah bisa konsisten dan presisten dijalankan. Hal ini membuat rencana menabung sering kali tersendat-sendat jika tidak ingin dibilang terhenti di tengah jalan.
Padahal yang disebut terakhir adalah yang maha penting untuk bekal hidup di hari tua atau pensiun. karena sebagai karyawan dengan penghasilan tetap setiap bulan, musuhnya adalah inflasi. Dimana kenaikan harga barang atau jasa akan menggerus nilai uang yang kita miliki. Untuk melawan inflasi, bisa dilakukan dengan jalan investasi yang memiliki return rate atau imbal hasil di atas rata-rata inflasi tahunan. Menabung adalah satu hal dan investasi adalah hal yang lainnya.
Padahal yang disebut terakhir adalah yang maha penting untuk bekal hidup di hari tua atau pensiun. karena sebagai karyawan dengan penghasilan tetap setiap bulan, musuhnya adalah inflasi. Dimana kenaikan harga barang atau jasa akan menggerus nilai uang yang kita miliki. Untuk melawan inflasi, bisa dilakukan dengan jalan investasi yang memiliki return rate atau imbal hasil di atas rata-rata inflasi tahunan. Menabung adalah satu hal dan investasi adalah hal yang lainnya.
Beruntung, harapan itu masih ada, Saya 'dipaksa' menabung sebesar 5,7% dari penghasilan setiap bulan dan sekaligus dikelola (diinvestasikan) untuk memberikan imbal hasil yang lebih baik dibanding tabungan, dan beruntungnya lagi, 3,7% dari 5,7% dibayarin sama kantor...hehe, ini juga bikin Saya bahagia. Usut punya usut, hal ini bisa terjadi karena sejak mulai bekerja, Saya sudah didaftarkan dan ikut program jaminan hari tua dari BPJS Ketenagakerjaan. Keren kaan...dari namanya aja sudah menenangkan, jaminan hari tua, walaupun Saya belum merasa tua, paling tidak, bisa menatap hari tua dengan lebih pasti.
Beruntung lagi, Saya 'dipaksa' menabung 3% dari penghasilan setiap bulan dan beruntung lagi, Saya cuma bayar 1%, sisanya dibayarin kantor, ini juga bikin bahagia. Ternyata namanya program jaminan pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan.
Dua program ini adalah salah satu amanat Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Per tanggal 1 Januari 2014 PT. Jamsostek bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan tetap menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pensiun (JP) (sejarah ).
Buat Saya, yang masih di kelas pekerja, adanya program-program jaminan ini jelas membuat BAHAGIA. Bahagia ikut programnya untuk BAHAGIA DI HARI TUA.
Salam Bahagia!
Rabu, 13 Januari 2016
Ber-Tuhan-kan Duit
Suatu hari Saya pergi kerja tanpa membawa selembar pun uang di dompet, hal itu Saya lakukan karena memang tidak ada uang yang tersisa dari gajian tanggal 25. Sementara hari itu masih 7 hari lagi untuk sampai ke tanggal 25 bulan berikutnya. Hanya bermodal sarapan pagi di rumah, Saya berangkat dengan modal motor inventaris kantor dan jatah bensin setiap bulannya. Dalam hati Saya berbicara, bahwa ini adalah cara Saya menghukum diri sendiri yang tidak mampu mengelola uang dengan baik. Biarlah rasa lapar di siang hari menjadi pengingat keegoisan nafsu yang tidak menghiraukan jatah lambung yang perlu dikasih makan.
Namun, ditengah tekad untuk menghukum diri sendiri, muncul kekhawatiran lain. Bagaimana kalau ban bocor dan butuh duit buat tambal ban? atau bagaimana kalau motor mogok di tengah jalan dan harus bayar bengkel? Kekhawatiran itu datang begitu kuat, seolah duit bisa menjamin kesuksesan Saya menjalani hari itu dengan baik. Saya khawatir dengan sesuatu yang belum terjadi karena Saya tidak punya duit.
Saat itu juga Saya tersentak kaget. Duit telah menutup keyakinan Saya pada Tuhan, bahwa Tuhan lah yang berkehendak akan sesuatu. Seolah Saya telah ber-Tuhan-kan duit.
Namun, ditengah tekad untuk menghukum diri sendiri, muncul kekhawatiran lain. Bagaimana kalau ban bocor dan butuh duit buat tambal ban? atau bagaimana kalau motor mogok di tengah jalan dan harus bayar bengkel? Kekhawatiran itu datang begitu kuat, seolah duit bisa menjamin kesuksesan Saya menjalani hari itu dengan baik. Saya khawatir dengan sesuatu yang belum terjadi karena Saya tidak punya duit.
Saat itu juga Saya tersentak kaget. Duit telah menutup keyakinan Saya pada Tuhan, bahwa Tuhan lah yang berkehendak akan sesuatu. Seolah Saya telah ber-Tuhan-kan duit.
17.03 - By zhae_onnet
0
Rabu, 11 Maret 2015
Spodosol
Spodosol merupakan tanah berpasir dengan kandungan pasir di atas 80%, derajat kemasaman tanah rendah (pH 3 - 5), kandungan unsur hara dan bahan organik rendah sampai sangat rendah. Bila kita buat profil sampai kedalaman 100 cm, maka terlihat lapisan atas adalah bahan organik yang berwarna gelap, kemudian lapisan pasir berwarna putih atau abu-abu (disebut juga zona eluviasi/zona pencucian), dan lapisan di bawah pasir adalah lapisan hardpan yang keras dan kedap air. Tekstur yang berpasir pada Spodosol menandakan ruang pori tanah besar, sehingga air atau unsur hara akan cepat hilang tercuci.
Spodosol merupakan salah satu ordo tanah yang memiliki horizon penciri Albik dan Spodik. Horizon permukaan yang berwarna cerah, dicirikan oleh warna partikel pasir dan merupakan zona eluviasi atau zona pencucian disebut horizon albik, sedangkan horizon spodik terbentuk dari akumulasi bahan organik dan oksidasi alumunium dengan atau tanpa oksidasi besi (diolah dari berbagai sumber)
17.04 - By zhae_onnet
1
Rabu, 19 November 2014
Sejarah Karawang
Karawang |
Pada zaman dahulu daerah Karawang sebagian besar masih merupakan hutan belantara dan berawa-rawa. Hal ini yang menjadi asal mula kata Karawang yang berasal dari bahasa Sunda, KE-RAWA-AN artinya tempat berawa-rawa. Nama tersebut sesuai dengan keadaan geografis Karawang yang berawa-rawa. Bukti lain yang dapat memperkuat pendapat tersebut adalah banyak nama tempat di daerah Karawang diawali dengan kata rawa, seperti : Rawasari, Rawagede, Rawamerta, Rawagempol dan lain-lain. Sumber lain juga mengatakan Karawang berasal dari bahasa Portugis CARAVAN. Bukti yang mendasarinya adalah buku-buku Portugis (1512 - 1522) yang menceritakan sejak dahulu kala, bila orang-orang yang bepergian melewati rawa-rawa sungai Citarum, mereka pergi berkelompok atau berkafilah-kafilah dengan menunggang Kuda, Sapi, Kerbau atau Keledai. Orang Portugis menyebut kelompok-kelompok kafilah tersebut CARAVAN.
Keberadaan daerah Karawang telah dikenal sejak Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di daerah Bogor. Karena Karawang pada masa itu, merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Padjadjaran dengan Galuh Pakuan yang Berpusat di Ciamis. Dari Pakuan Padjadjaran ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusah, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Rajagaluh Talaga, Kawali, dan berpusat di kerajaan Galuh Pakuan di Ciamis dan Bojonggaluh.
Luas Kabupaten Karawang pada saat itu tidak sama dengan luas Kabupaten Karawang masa sekarang. Pada saat itu Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Subang, Purwakarta dan Karawang sendiri. Setelah Kerajaan Padjadjaran runtuh pada tahun 1579 M, setahun kemudian berdiri Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Padjadjaran dengan Rajanya Prabu Geusan Ulun, Putera Ratu Pucuk Umum (disebut juga Pangeran Istri) dengan Pangeran Santri Keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Kerajaan Islam Sumedanglarang pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan, Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 M, Prabu Geusan Ulum wafat digantikan oleh puteranya Ranggagempol Kusumahdinata, putera Prabu Geusam Ulum dari istrinya Harisbaya, keturunan Madura.
Pada masa itu, di Jawa Tengah telah berdiri Kerajaan Mataram dengan Rajanya Sultan Agung (1613-1645), Salah satu cita-cita Sultan Agung pada masa pemerintahannya adalah dapat menguasasi Pulau Jawa dan menguasai Kompeni (Belanda) dari Batavia. Rangggempol Kusumahdinata sebagai Raja Sumedanglarang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung dan mengakui kekuasaan mataram. Maka pada tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan Kerajaan Sumdeanglarang di bawah naungan Kerajaan Mataram. Sejak itu Sumedanglarang dikenal dengan sebutan “PRAYANGAN”.
Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati Wadana untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, sebelah Barat Kali Cisadane, di sebelah Utara Laut Jawa dan di sebelah Selatan Laut Kidul. Karena Kerajaan Sumedanglarang ada di bawah naungan Kerajaan Mataram, maka dengan sendirinya Karawang pun berada di bawah kekuasaan Mataram.
Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat dan dimakamkan di Bembem Yogyakarta. Sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, putra Prabu Geusan Ulun, dari istri Nyimas Gedeng Waru dari Sumedang, Ranggagempol II, putra Ranggagempol Kusumahdinata yang mestinya menerima tahta kerajaan merasa disisihkan dan sakit hati. Kemudian beliau berangkat ke Banten, untuk meminta bantuan Sultan Banten agar dapat menaklukan Kerajaan Sumedanglarang dengan imbalan apabila berhasil, maka seluruh wilayah kekuasaan Sumedanglarang akan diserahkan kepada Sultan Banten. Sejak itu, banyak tentara Banten yang dikirim ke Karawang terutama di sepanjang Sungai Citarum, di bawah pimpinan Pangeran Pager Agung, dengan bermarkas di Udug-udug. Pengiriman bala tentara Banten ke Karawang dilakukan Sultan Banten bukan saja untuk memenuhi permintaan Ranggagempol II, tetapi merupakan awal usaha Banten untuk menguasai Karawang sebagai persiapan merebut kembali Pelabuhan Banten yang telah dikuasai oleh Kompeni (Belanda) yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa.
Masuknya tentara Banten ke Karawang beritanya telah sampai ke Mataram, pada tahun 1624 Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung Jawa Timur, untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia. Perjalanan seribu orang prajurit dan keluarganya tidak seluruhnya sampai ke Karawang. Di Banyumas, Aria Surengrono meninggalkan 300 prajurit dengan keluarganya untuk mempersiapkan logistik dan penghubung ke Ibu kota Mataram. Dari Banyumas perjalanan dilanjutkan dengan melalui jalur utara melewato Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan Ciasem. Kemudian di Ciasem ditinggalkan lagi 400 prajurit dengan keluarganya, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Karawang.
Setibanya di Karawang, dengan sisa 300 prajurit dan keluarganya, Aria Surengrono, menduga bahwa
tentara Banten yang bermarkas di Udug-udug, mempunyai pertahanan yang sangat kuat, karena itu perlu diimbangi dengan kekuatan yang memadai pula. Langkah awal yang dilakukan Surengrono membentuk 3 (Tiga) Desa yaitu desa Waringinpitu (Telukjambe), Parakan Sapi (di Kecamatan Pangkalan) yang kini telah terendam air Waduk Jatiluhur ) dan desa Adiarsa (sekarang termasuk di Kecamatan Karawang dengan pusat kekuatan di desa Waringipitu.
Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai anggapan bahwa tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.
Demi menjaga keselamatan, Wilayah Kerajaan Mataram di sebelah Barat, pada tahun 1628 dan 1629 balatentara kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun serangan ini gagal karena keadaan medan sangat berat dan berjangkitnya Malaria serta kekurangan persediaan makanan. Dari kegagalan itu, Sultan Agung menetapkan daerah Karawang sebagai pusat Logistik, yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram, dan harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang, mampu menggerakan masyarakat untuk membangun pesawahan, guna mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang, tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang telah dianggap gagal. Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya dilaporkan kepada Sultan Agung atas keberhasilannya, Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugerahi jabatan Wedana (setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III, serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama “KAROSINJANG”. Setelah penganugerahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dulu ke Galuh untuk menjenguk keluarganya. Atas takdir Ilahi beliau wafat di Galuh, jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677. Tugas pokok yang diemban Raden Adipati Singaperbangsa, mengusir VOC (Belanda) dengan mendapat tambahan parjurit 2000 dan keluarganya, serta membangun pesawahan untuk mendukung Logistik kebutuhan perang.
Sumber : www.karawangkab.go.id/sekilas/sejarah-karawang
Sumber : www.karawangkab.go.id/sekilas/sejarah-karawang
11.38 - By zhae_onnet
0
Minggu, 24 Agustus 2014
Daftarin Orangtua yuk ke BPJS Kesehatan
Udah pada tahu kan yang namanya BPJS Kesehatan? Itu tuh yang dulu namanya PT. Askes. Setelah ada Undang-Undang No.24 Tahun 2011 tentang Jaminan Kesehatan Nasional PT. Askes berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada awal tahun 2014.
Kami berdua (Saya dan istri) emang berencana mau mendaftarkan orang tua kami ke BPJS agar mendapatkan asuransi kesehatan. Karena kami belum tahu syarat dan prosedurnya, maka sehabis libur lebaran kemaren Saya dan istri maen-maen ke kantor BPJS Karawang, sekitar satu jam perjalanan naik motor dari Batujaya, karena Saya tinggal di rumah mertua di Batujaya..hehe *malu*.
Info dari pak Satpam di kantor BPJS Kesehatan Karawang, syarat mendaftarkan orang tua ada 4, yaitu :
1. Isi formulir pendaftaran yang disediakan,
2. Fotocopy KTP dan KK terbaru,
3. Pasphoto berwarna 3x4, dan
4. Surat kuasa (kalau daftarin orang tua),
+++Tambah satu info dari Saya :)+++
5. Duit buat bayar iuran peserta (*biaya pendaftaran gratis); TIPS : bawa ATM BRI/BNI/Mandiri yang saldonya masih cukup buat bayar iuran, biar ga usah ngantri lagi buat bayar di Bank
Formulir dan surat kuasa bisa diminta sama pak Satpam. kami minta dua formulir pendaftaran, karena satu formulir pendaftaran untuk satu keluarga yang terdiri dari Suami, Istri, dan 3 orang anak. Setelah dapet formulir dan surat kuasa, serta keterangan dari pak Satpam, kami berdua pulang buat mempersiapkan syarat-syarat pendaftaranya.
Selang beberapa hari, setelah formulir diisi lengkap dan syarat-syarat pendaftaran juga lengkap, Saya meluncur lagi ke Karawang. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya sampe juga di kantor BPJS, kantornya sebelah kiri dari arah terminal Tanjung Pura sebelum lampu merah Pemda. Nyampe jam 9 pagi parkiranya udah penuh sama motor, tanda-tanda antrian di dalam udah panjang, padahal kan dateng pagi-pagi biar ga kejebak antrian panjang *hadeuuh*. Tapi gapapa deh, sebagai warga negara yang baik, Saya masuk dan ambil antrian di mesin antrian (FYI: mesin antrianya canggih, udah pake layar sentuh). Ada beberapa pilihan dilayar, paling atas ada pendaftaran peserta, pas dipencet keluar deh kertas antrian no. 76. Kalau agak-agak ragu, tanya sama satpamnya, baik orangnya helpful banget deh pokoknya. Setelah ambil antrian duduk nunggu nomor antrian dipanggil,antrianya baru jalan no.21, 55 no. antrian lagi :(. Dari jam 9 pagi baru dipanggil jam 11:30, butuh 2,5 jam kesabaran nunggu antrian.
Di meja pendaftaran berkas-berkas yang sudah kita siapkan diserahkan ke petugas (formulir yang sudah diisi dan ditempel foto+surat kuasa+fotocopy ktp+kk orang tua), selang sepuluh menit berkas yang kita berikan diserahkan lagi bersama dua cetakan nomor virtual akun atas nama orang tua. Informasi dari petugasnya, setelah dapat virtual akun, kita disuruh bayar iuran BPJS via bank (BRI/BNI/Mandiri) yang besarannya tergantung kelas yang dipilih, kelas 1=52.500, kelas 2=42.500, kelas 3=25.500 (cmiiw, agak lupa). Kalau punya ATM BRI atau Mandiri, bayarnya bisa disitu juga (beda meja dan petugas). Karena ATM Saya BNI, jadi cari keluar dulu deh, info dari petugasnya di sebrang jalan di POM bensin ada ATM BNI, eh iya..nyebrang jalan, udah keliatan pom bensin sama plang ATM BNI. di ATM BNI pilih menu pembayaran, cari pilihanya BPJS Kesehatan, trus masukin deh nomor virtual akunnya, setelah itu muncul konfirmasi, kalau udah bener tinggal di Ok-kan saja. Ingat ya..setiap satu orang satu virtual akun, jadi karena Saya daftarin orang tua, maka ada 2 virtual akun (suami dan istri) dan dua kali bayar. Satu lagi, struk ATMnya jangan sampai ilang. eh..satu lagi pembayaran iuranya itu tiap bulan (sebelum tanggal 10 setiap bulan).
Balik ke kantor BPJS lagi bawa struk ATM dan berkas-berkas persyaratan, ambil antrian lagi (pilih menu pencetakan kartu), tunggu antrian lagi deh..tapi untuk pengambilan kartu lebih cepat, ga sampai 15 menit udah dipanggil. Berikan berkas-berkas formulir dan persyaratan beserta struk bukti pembayaran ATM ke petugas, selang sebentar dipanggil buat ambil kartu peserta BPJS. Sudah deh, selesai perjuangan setengah harian. Cape nunggu rasanya, hehe.. jam 12 lebih dikit keluar, ambil motor, bayar parkir 2000, trus pulang.
09.02 - By zhae_onnet
21
Rabu, 12 Februari 2014
Desa dan kekhawatiran yang ada
Mungkin tidak ada data statistik yang ditampilkan disini, berpikir secara angka akan membuat kita lupa makna dari angka itu, terakhir saya ingat waktu kuliah sosiologi pertanian pada tahun 2004, disitu dikatakan bahwa secara statistik penguasaan lahan pertanian per kapita di Indonesia adalah 0,25 Ha. Angka rata-rata ini sangat tidak menggambarkan kondisi penguasaan lahan pertanian di desa saya sendiri, dimana banyak petani desa saya berubah jadi petani penggarap. Petani telah diambil kedaulatannya karena dipisahkan dari lahannya sendiri.
Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, dan para pakar banyak merumuskannya dari berbagai pendekatan, mulai dari tingkat pendidikan petani yang rendah, dukungan pemerintah yang lemah, sampai kepada masalah kultural petani itu sendiri. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir yang susah menerima sesuatu yang baru (baik itu varietas baru, pupuk baru, atau cara budidaya yang baru). Peran pemerintah sendiri lebih pada menjaga harga gabah di tingkat petani untuk melindungi petani dan subsidi pupuk atau benih/bibit, sementara dukungan lembaga keuangan yang kredibel bagi petani di desa belum ada, selain itu infrastruktur desa (seperti jalan) juga menjadi kendala. Faktor budaya juga bertanggung jawab terhadap tingkat penguasaan lahan yang semakin rendah, dimana sistem waris membuat penguasaan lahan akan semakin kecil. Karena, ketika si A punya 1 Ha lahan dan punya 2 orang anak, maka lahan itu akan dibagi kepada kedua anaknya, dan begitu pun seterusnya. Sehingga, laju penguasaan lahan akan terus menurun.
Kondisi penguasaan lahan yang semakin kecil menjadi masalah tersendiri bagi petani, karena pewarisan lahan tidak diikuti oleh pewarisan keahlian bertani dari orang tua kepada anaknya. Sehingga tidak terjadi regenerasi yang mampu menopang perkembangan pertanian di desa-desa. Dan ketika pemodal dari luar desa yang melihat peluang ini mulai masuk, maka akan terjadi pemindahan penguasaan lahan. Suatu kondisi yang mengkhawatirkan, tentu saja, karena sebuah desa yang harusnya didorong untuk menjadi sebuah desa yang mandiri, kini telah kehilangan penguasaan lahanya sendiri.
Pada tahap ini, harusnya pemerintah desa mulai khawatir akan masa depan warga desanya. Mulai khawatir akan menyumbang urbanisasi yang menjadi masalah kota-kota besar, mulai khawatir apakah warganya punya cukup beras untuk dimakan, mulai khawatir dari mana warganya mendapatkan penghasilan. Ini masalah nyata yang telah-sedang terjadi dan bisa berdampak signifikan terhadap jumlah warga negara yang masuk kategori miskin karena tidak punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Tidak perlu data statistik yang banyak, bahkan jikalau ini hanya terjadi pada satu orang warga negara Indonesia yang merdeka, maka kemerdekaan kita sudah gagal mewujudkan cita-cita luhurnya, yaitu negara yang adil dan makmur berlandaskan pancasila dan undang-undang dasar.
Saya sudah khawatir dengan kondisi ini, dan saya telah membagikan kekhawatiran ini untuk sama-sama kita mulai khawatir dan lebih peduli. karena hanya dengan kepedulianlah, kita bisa melihat masalah yang terjadi dengan hati. Karena saya bercita-cita, suatu saat nanti, desa saya akan menjadi desa yang mandiri, desa yang bisa menjamin setiap warganya punya penghasilan yang layak di desanya sendiri. Desa yang bisa menghidupi warganya sendiri.
Kalau melihat struktur pemerintahan Indonesia, provinsi dibagi menjadi kabupaten, kemudian dibagi menjadi kecamatan, dan dibagi lagi menjadi desa. Seandainya fokus pembangunan Indonesia itu bertumpu di desa, maka akan menciptakan efek domino ke atas (kecamatan-kabupaten-provinsi-INDONESIA). Namun, yang terjadi sekarang adalah pembangunan dilakukan di kota provinsi dan kabupaten untuk mengharapkan efek domino ke bawah.
Salam,
zhae_onnet
Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, dan para pakar banyak merumuskannya dari berbagai pendekatan, mulai dari tingkat pendidikan petani yang rendah, dukungan pemerintah yang lemah, sampai kepada masalah kultural petani itu sendiri. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir yang susah menerima sesuatu yang baru (baik itu varietas baru, pupuk baru, atau cara budidaya yang baru). Peran pemerintah sendiri lebih pada menjaga harga gabah di tingkat petani untuk melindungi petani dan subsidi pupuk atau benih/bibit, sementara dukungan lembaga keuangan yang kredibel bagi petani di desa belum ada, selain itu infrastruktur desa (seperti jalan) juga menjadi kendala. Faktor budaya juga bertanggung jawab terhadap tingkat penguasaan lahan yang semakin rendah, dimana sistem waris membuat penguasaan lahan akan semakin kecil. Karena, ketika si A punya 1 Ha lahan dan punya 2 orang anak, maka lahan itu akan dibagi kepada kedua anaknya, dan begitu pun seterusnya. Sehingga, laju penguasaan lahan akan terus menurun.
Kondisi penguasaan lahan yang semakin kecil menjadi masalah tersendiri bagi petani, karena pewarisan lahan tidak diikuti oleh pewarisan keahlian bertani dari orang tua kepada anaknya. Sehingga tidak terjadi regenerasi yang mampu menopang perkembangan pertanian di desa-desa. Dan ketika pemodal dari luar desa yang melihat peluang ini mulai masuk, maka akan terjadi pemindahan penguasaan lahan. Suatu kondisi yang mengkhawatirkan, tentu saja, karena sebuah desa yang harusnya didorong untuk menjadi sebuah desa yang mandiri, kini telah kehilangan penguasaan lahanya sendiri.
Pada tahap ini, harusnya pemerintah desa mulai khawatir akan masa depan warga desanya. Mulai khawatir akan menyumbang urbanisasi yang menjadi masalah kota-kota besar, mulai khawatir apakah warganya punya cukup beras untuk dimakan, mulai khawatir dari mana warganya mendapatkan penghasilan. Ini masalah nyata yang telah-sedang terjadi dan bisa berdampak signifikan terhadap jumlah warga negara yang masuk kategori miskin karena tidak punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Tidak perlu data statistik yang banyak, bahkan jikalau ini hanya terjadi pada satu orang warga negara Indonesia yang merdeka, maka kemerdekaan kita sudah gagal mewujudkan cita-cita luhurnya, yaitu negara yang adil dan makmur berlandaskan pancasila dan undang-undang dasar.
Saya sudah khawatir dengan kondisi ini, dan saya telah membagikan kekhawatiran ini untuk sama-sama kita mulai khawatir dan lebih peduli. karena hanya dengan kepedulianlah, kita bisa melihat masalah yang terjadi dengan hati. Karena saya bercita-cita, suatu saat nanti, desa saya akan menjadi desa yang mandiri, desa yang bisa menjamin setiap warganya punya penghasilan yang layak di desanya sendiri. Desa yang bisa menghidupi warganya sendiri.
Kalau melihat struktur pemerintahan Indonesia, provinsi dibagi menjadi kabupaten, kemudian dibagi menjadi kecamatan, dan dibagi lagi menjadi desa. Seandainya fokus pembangunan Indonesia itu bertumpu di desa, maka akan menciptakan efek domino ke atas (kecamatan-kabupaten-provinsi-INDONESIA). Namun, yang terjadi sekarang adalah pembangunan dilakukan di kota provinsi dan kabupaten untuk mengharapkan efek domino ke bawah.
Salam,
zhae_onnet
10.44 - By zhae_onnet
0
Jumat, 07 Februari 2014
Golput sama dengan Pengecut
Memulai pagi seperti biasa, disambut dengan debu. Karena jalan disini tanpa guyuran aspal atau beton. Jalan yang menuntun Saya menjadi bagian dari komunitas kaum pekerja urban yang berteduh di bawah pohon Acacia dan Eucalyptus. Pohon-pohon iniyang menggantikan lebatnya pohon Bulian (eusderoxylon zwageri), Jelutung (Dyera spp), dan Pulai (Alstonia Scholaris)... maaf ngelantur, hehe.
Kaum pekerja seperti Saya, terikat pada aturan 8 jam kerja sehari dan 40 jam seminggu. Rutinitas yang kadang membuat gairah hidup yang monoton. Namun, karena ini katanya tahun politik, sedikit banyak mendengar juga berita hajatan besar yang akan di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Banyak juga Saya dengar nada-nada pesimis diantara semangat para calon anggota legislatif yang terpampang lewat baligo, spanduk, dll. Para calon berlomba-lomba memasang baligo dan spanduk agar lebih dikenal oleh calon pemilih, tapi karena 'saking' banyaknya, malah jadi ga kenal satu pun. Hehe..
Sedikit banyak juga, Saya menyaksikan hajatan yang tidak kalah serunya, niatnya mungkin bukan menyaingi promosi hajatan yang akan diselenggarakan oleh KPU, tapi aksi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi stigma buruk buat para calon anggota legislatif yang akan berebut suara para pemilih. Nama-nama beken di dunia perpolitikan Indonesia tumbang tersangkut kasus korupsi. Menyakiti hati rakyat pemilih karena ketika dipercayakan untuk membela kepentingan rakyat pemilih, malah menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri.
Ini seperti dua hajatan yang kontra-produktif, disatu sisi KPU mempromosikan pemilu kepada masyarakat pemilih agar berpartisipasi aktif untuk datang ke lokasi pemungutan suara, disisi lain KPK memberikan fakta perilaku korupsi wakil rakyat yang meninggalkan citra buruk seorang politisi. Bahkan Lembaga Survei Indonesia (LSI)memprediksi angka golput pemilu 2014 sebesar 50%.
Kenyataan memang seperti ini, Saya sempat marah dan berpikir untuk golput saja. Karena perilaku para politisi itu korup dan tidak memikirkan nasib rakyat. Saya berpikir, dengan memilih golput, Saya tidak menjadi bagian dari orang yang mendukung koruptor. Menjadi orang yang apatis dan tidak memilih adalah hal yang pantas untuk dilakukan untuk menghukum para koruptor. Tapi, Saya tersentak dan sadar. Bahwa Saya telah salah selama ini.
Justru, inilah kesempatan bagi Saya untuk melakukan perubahan bersama dengan 186 juta pemilih lain (menurut DPT di kpu.go.id). Karena perubahan tidak mungkin terjadi kalau Saya golput. Dengan mengambil sikap golput, berarti Saya tidak ambil bagian melakukan perubahan itu. Saya ingat, pernah baca tulisan bang Pandji, untuk mengajak melakukan perubahan bukan menuntut perubahan. Memilih untuk tidak golput sama dengan melakukan perubahan itu dari diri kita sendiri, Namun ketika memilih golput sama dengan seorang pengecut yang hanya menuntut perubahan, tanpa punya keberanian memilih dan melakukan perubahan.
Jadi..SAY NO TO GOLPUT!!
11.24 - By zhae_onnet
0